Friday, November 18, 2016

Budaya Feodal dan Pendidikan Indonesia



Hari ini saya membicarakan masalah Budaya Feodal dan Pendidikan Indonesia. Negara kita yang sangat kita cintai ini adalah mantan jajahan dari Belanda. Kita semua tahu gaya feodalisme masih sangat erat di Indonesia. Dimana semua orang banyak yang berlomba menjadi abdi negara bahkan dalam buku Mochtar Lubis yang berjudul manusia Indonesia dituliskan bahwa ciri manusia Indonesia berjiwa feodal. Hal ini juga tidak bisa dilepaskan dari sistem kerajaan yang telah mengurat akar di kebudayaan sejarah kita, dari zaman kerajaan Kutai (abad ke 4) hingga kerajaan Yogyakarta (sampai sekarang) lalu pada zaman pemerintahan Belanda (kolonial), kita mengacu pada gaji seorang pegawai tingkat rendah memang lebih besar (padahal sedikit) dibanding profit (keuntungan) mereka.  
Budaya Indonesia adalah budaya feodal, adalah suatu statemen yang tidak bisa kita pungkiri, pada zaman Orde Lama maupun Orde Baru semua pemimpin kita tercinta termasuk Soekarno dan Soeharto senang di feodalkan, Soe Hok Gie dalam buku catatan seorang demonstran mengatakan Soekarno adalah tipekal raja-raja Jawa, senang membuat patung atau tempat-tempat yang megah. Sebuah simbol raja Jawa yang mempunyai benda sakti yang di ameliorasi menjadi kata-kata sakti dalam pemerintahan tersebut seperti “amerika kita strika dan Inggris kita linggis” , Neokolim (Neo Kolonialisme dan Imperialisme), NASAKOM (Nasional Agama dan Komunis) dan akhirnya kalimat-kalimat sakti tersebut memakan penciptanya sendiri. Sukarno tak sadar kalau dirinya berada disangkar emas, sehingga hanya mendengar dari lingkungan negara, sementara kenyataannya rakyat susah dan menderita. Di periode Orde baru Soeharto mengulang kesalahan yang sama, menciptakan monumen-monumen dan kembali informasi hanya didapatkan dari lingkungan Istana, Soeharto tak sadar bahwa pembusukan sistem akibat KKN (korupsi kolusi dan Nepotisme) telah membuat kebijakan politik semakin reprersif seperti kejadian MALARI 74 (Malapetaka limabelas januari 1974) mengakibatkan NKK/BKK (Normalisasi kampus) Peristiwa Tanjung Priuk 1980an dan terakhir peristiwa 21 Mei 1998 yang mengakibatkan Soeharto lengser, namun sekali lagi yang lengser adalah simbol. Bukan sistem!
Indonesia sudah sangat akrab dengan budaya Feodal, bahkan pada masa reformasi sekarang muncul feodalisme dalam bentuk yang mengecil. Desentralisasi yang dilakukan akibat anti tesis terhadap sentralisasi malah menimbulkan raja-raja kecil didaerah. Birokrasi yang diharapkan mempermudah dalam mengklasifikasi malah mempersulit, sungguh kesalahan dalam menafsirkan maksud birokrasi. Saya berfikir tentang manifesto budaya yang dilakukan negara Komunis China, Mao Tse Tung mencoba untuk menukar budaya feodal menjadi komunis, bukan maksud saya mencoba mengganti dasar negara kita dari Pancasila menjadi komunis?! Tapi mari kita merefleksi bagaimana cara pola pikir bangsa ini?!
Dalam bidang pendidikan, kita tidak jauh beda dengan sistem pengajaran yang feodal pula, lihat bagaimana guru masih dianggap sebagai sentral pengetahuan. Sementara murid hanya penerima informasi tanpa harus mengkritisi maupun menelaah lebih lanjut bahan materi. Lalu bagaimana dengan peran orang tua?? Mayoritas mereka mempunyai paradigma bahwa sekolah untuk mencari uang! Sekolah untuk mendapatkan ijazah, dan ijazah digunakan untuk mencari pekerjaan. Sehingga jangan kaget jika orang tua mengharapkan anaknya selesai kuliah mendapatkan pekerjaan bukan menciptakan pekerjaan, padahal secara idealnya pendidikan menciptakan perubahan, tapi jika kita lihat dari kita merdeka 1945 sampai 2012 kita tidak mempunyai perubahan yang signifikan dan cenderung berjalan ditempat, lihat Singapura yang meniru kegiatan pembelajaran diIndonesia, bahkan menjadikan pemikiran Ki Hajar Dewantara sebagai landasan pikir mereka, dan Malaysia yang tadinya belajar dengan Indonesia sekarang malah keterbalikannya sekarang, kita yang belajar dan bangga jika sekolah disana. Lalu bagaimana pemikir dan peneliti di Indonesia kurang dihargai lalu bagaimana peneliti asing mendapatkan apresiasi lebih dari pemerintah, kita menggangap bangsa kulit putih lebih berwarna lebih pintar dari kita? Bahkan kita menjadikan Bahasa Inggris menjadi Ujian Nasional?!? Ditambah kita bangga nilai Bahasa Inggrisnya 8 daripada panik ketika nilai Bahasa Indonesia 6,5. Oh ironi?!?!  

Sementara bagaimana dengan perempuan?? R.A Kartini mengatakan dalam buku habis gelap terbitlah terang “panggil saja aku kartini” lepas dari gelar kebangsawanan yang dia punya, dia ingin belajar seperti pria, namun sekarang dizaman moderen, tidak banyak perubahan. Paradigma orang tua banyak terfokus kepada perempuan sebagai subjek bukan objek, padahal jika kita melihat dunia, banyak pemimpin wanita seperti Benazir Buto, Ratu Elizabeth, Margareth Theacher bahkan di Mesir ada stasiun televisi yang berdasarkan genre ini. Inilah budaya feodal kita, budaya yang sudah “mengelotok” dikepala manusia Indonesia.  

(tulisan ini adalah repost diblog yang terdahulu)