Hari ini saya membicarakan masalah Budaya
Feodal dan Pendidikan Indonesia. Negara kita yang sangat kita cintai ini adalah
mantan jajahan dari Belanda. Kita semua tahu gaya feodalisme masih sangat erat
di Indonesia. Dimana semua orang banyak yang berlomba menjadi abdi negara
bahkan dalam buku Mochtar Lubis yang berjudul manusia Indonesia dituliskan
bahwa ciri manusia Indonesia berjiwa feodal. Hal ini juga tidak bisa dilepaskan
dari sistem kerajaan yang telah mengurat akar di kebudayaan sejarah kita, dari
zaman kerajaan Kutai (abad ke 4) hingga kerajaan Yogyakarta (sampai sekarang)
lalu pada zaman pemerintahan Belanda (kolonial), kita mengacu pada gaji seorang
pegawai tingkat rendah memang lebih besar (padahal sedikit) dibanding profit
(keuntungan) mereka.
Budaya Indonesia adalah budaya
feodal, adalah suatu statemen yang tidak bisa kita pungkiri, pada zaman Orde
Lama maupun Orde Baru semua pemimpin kita tercinta termasuk Soekarno dan
Soeharto senang di feodalkan, Soe Hok Gie dalam buku catatan seorang demonstran
mengatakan Soekarno adalah tipekal raja-raja Jawa, senang membuat patung atau
tempat-tempat yang megah. Sebuah simbol raja Jawa yang mempunyai benda sakti
yang di ameliorasi menjadi kata-kata sakti dalam pemerintahan tersebut seperti
“amerika kita strika dan Inggris kita linggis” , Neokolim (Neo Kolonialisme dan
Imperialisme), NASAKOM (Nasional Agama dan Komunis) dan akhirnya kalimat-kalimat
sakti tersebut memakan penciptanya sendiri. Sukarno tak sadar kalau dirinya
berada disangkar emas, sehingga hanya mendengar dari lingkungan negara,
sementara kenyataannya rakyat susah dan menderita. Di periode Orde baru
Soeharto mengulang kesalahan yang sama, menciptakan monumen-monumen dan kembali
informasi hanya didapatkan dari lingkungan Istana, Soeharto tak sadar bahwa
pembusukan sistem akibat KKN (korupsi kolusi dan Nepotisme) telah membuat
kebijakan politik semakin reprersif seperti kejadian MALARI 74 (Malapetaka
limabelas januari 1974) mengakibatkan NKK/BKK (Normalisasi kampus) Peristiwa
Tanjung Priuk 1980an dan terakhir peristiwa 21 Mei 1998 yang mengakibatkan
Soeharto lengser, namun sekali lagi yang lengser adalah simbol. Bukan sistem!
Indonesia sudah sangat akrab dengan
budaya Feodal, bahkan pada masa reformasi sekarang muncul feodalisme dalam
bentuk yang mengecil. Desentralisasi yang dilakukan akibat anti tesis terhadap
sentralisasi malah menimbulkan raja-raja kecil didaerah. Birokrasi yang
diharapkan mempermudah dalam mengklasifikasi malah mempersulit, sungguh
kesalahan dalam menafsirkan maksud birokrasi. Saya berfikir tentang manifesto
budaya yang dilakukan negara Komunis China, Mao Tse Tung mencoba untuk menukar
budaya feodal menjadi komunis, bukan maksud saya mencoba mengganti dasar negara
kita dari Pancasila menjadi komunis?! Tapi mari kita merefleksi bagaimana cara
pola pikir bangsa ini?!
Dalam bidang pendidikan, kita tidak
jauh beda dengan sistem pengajaran yang feodal pula, lihat bagaimana guru masih
dianggap sebagai sentral pengetahuan. Sementara murid hanya penerima informasi
tanpa harus mengkritisi maupun menelaah lebih lanjut bahan materi. Lalu
bagaimana dengan peran orang tua?? Mayoritas mereka mempunyai paradigma bahwa sekolah
untuk mencari uang! Sekolah untuk mendapatkan ijazah, dan ijazah digunakan
untuk mencari pekerjaan. Sehingga jangan kaget jika orang tua mengharapkan
anaknya selesai kuliah mendapatkan pekerjaan bukan menciptakan pekerjaan,
padahal secara idealnya pendidikan menciptakan perubahan, tapi jika kita lihat
dari kita merdeka 1945 sampai 2012 kita tidak mempunyai perubahan yang
signifikan dan cenderung berjalan ditempat, lihat Singapura yang meniru
kegiatan pembelajaran diIndonesia, bahkan menjadikan pemikiran Ki Hajar
Dewantara sebagai landasan pikir mereka, dan Malaysia yang tadinya belajar
dengan Indonesia sekarang malah keterbalikannya sekarang, kita yang belajar dan
bangga jika sekolah disana. Lalu bagaimana pemikir dan peneliti di Indonesia
kurang dihargai lalu bagaimana peneliti asing mendapatkan apresiasi lebih dari
pemerintah, kita menggangap bangsa kulit putih lebih berwarna lebih pintar dari
kita? Bahkan kita menjadikan Bahasa Inggris menjadi Ujian Nasional?!? Ditambah
kita bangga nilai Bahasa Inggrisnya 8 daripada panik ketika nilai Bahasa
Indonesia 6,5. Oh ironi?!?!
Sementara bagaimana dengan
perempuan?? R.A Kartini mengatakan dalam buku habis gelap terbitlah terang
“panggil saja aku kartini” lepas dari gelar kebangsawanan yang dia punya, dia
ingin belajar seperti pria, namun sekarang dizaman moderen, tidak banyak
perubahan. Paradigma orang tua banyak terfokus kepada perempuan sebagai subjek
bukan objek, padahal jika kita melihat dunia, banyak pemimpin wanita seperti
Benazir Buto, Ratu Elizabeth, Margareth Theacher bahkan di Mesir ada stasiun
televisi yang berdasarkan genre ini. Inilah budaya feodal kita, budaya yang
sudah “mengelotok” dikepala manusia Indonesia.
(tulisan ini adalah repost diblog yang terdahulu)